MIMPI
Seorang
ayah muda yang tinggal berdua sama putri kesayangannya, setiap hari sepulang
dari aktifitas selalu menghabiskan waktu bersama. Rumah mungil mereka terletak
di pinggiran kota kecil yang asri di wilayah Jawa Tengah. Gadis tanggung yang
baru duduk di bangku sekolah menengah kelas 8 ini biasa dipanggil Loca oleh sang ayah. Sementara Biyan, nama
ayahnya, biasa disapa Abi oleh sang putri.
Ibunya
Loca meninggal dunia 2 tahun yang lalu saat melahirkan adiknya. Saat mengetahui
putra keduanya lahir dalam keadaan tidak bernyawa, sang ibu langsung kena
serangan jantung dan meninggal selang beberapa jam kemudian.
Sampai
saat ini, sang ayah belum menemukan pendamping yang tepat untuk menggantikan
istrinya. Pernah beberapa kali dia dekat dengan wanita, tapi selalu gagal
karena Loca tidak pernah menyukainya. "Yang baiknya mirip sama Bunda nggak
ada ya, Abi? Ya udah nggak usah usaha lagi, deh, Bi. Mendingan Abi mendekatkan
diri sama Allah aja daripada sama wanita," Katanya diplomatis. Bagi sang
Ayah, apapun keputusan putrinya, itulah keputusannya. Siapapun pilihan
putrinya, dialah pilihannya. Kebahagiaan putrinya adalah segalanya saat ini.
Sudah
dua hari ini Pak Biyan harus menikmati kesendirian di rumahnya. Loca sedang
mengikuti kegiatan camping selama 3 hari bersama teman-teman sekolahnya.
Kegiatan itu diadakan di lokasi cagar alam yang disebut Gunung Linjo. Itu
memang kegiatan sekolah. Acaranya sendiri sengaja diselenggarakan setiap tahun
untuk melatih fisik dan ketangkasan siswa-siswinya.
Lokasi:
Cagar alam Gunung Linjo . Jam 4.40 pm.
"Locaaa!"
Panggil Elyn, sahabat Loca. Dia berlari menghampiri Loca.
"Kenapa,
Lyn?" Jawab Loca.
"Kamu
lagi ngapain di sini?"
"Oh,
aku lagi ngobrol sama orang sini. Dia dari Pecinta Alam gitu."
"Ha?
Terus sekarang kemana orangnya?" Selidik Elyn sembari mengernyitkan
alisnya.
"Mm,
Udah pergi, Lyn," jawab Loca gugup.
"Loca,
kamu jangan bikin aku takut, ah. Aku tuh merhatiin kamu dari tadi, dan kamu
lagi ngobrol sendirian!" Kata Elyn setengah membentak.
Loca
tidak menjawab. Dia malah kelihatan lega karena Elyn tidak sempat melihat
dengan siapa dia bicara. Orang yang diajaknya bicara langsung menyelinap ke
balik semak-semak karena dia tak mau siapapun melihatnya. Sementara bagi Elyn,
keanehan itu sudah dirasakannya sejak kedatangan mereka di lokasi tempat
camping ini. Loca sering pergi diam-diam, lalu setelah dicari, dia kepergok
sedang ngobrol sendiri dengan lawan bicara yang tidak pernah tampak oleh kasat
mata. Entah dengan siapa. #persoalan
Lokasi:
Kediaman Pak Biyan. Jam 1.14 pm. Keesokan harinya.
Seorang
ayah yang tengah merindukan putri kecilnya tampak tersenyum-senyum sendiri
sembari meremas boneka babi kesayangan sang anak.
Sore ini Loca bakal kembali, dan beliau terlihat sudah tidak sabar menunggu
kepulangan putrinya.
Selagi
menunggu, Pak Biyan berusaha membunuh waktu dengan mengenang kejadian-kejadian
kecil yang kerap beliau lewati bersama Loca. Meski Loca masih bocah, tapi
sikapnya sudah bisa dewasa. Tiap pagi dia selalu bangun duluan untuk menyiapkan
sarapan buat ayahnya. Nasi goreng plus telur ceplok setengah matang yang
ditaburi lada hitam adalah sarapan favorit sang ayah. Menyeduhkan kopi,
menyiapkan air hangat untuk mandi, bahkan sampai memanaskan mobil ayahnya, dia
bisa, lho.
Ah,
Loca Loca ... Siapa yang tidak bangga memiliki anak yang sedemikian pedulinya
dengan kepentingan orangtuanya? Pak Biyan semakin mengembangkan senyumannya.
Semua kenangan kecil itu tak urung membuatnya semakin merindukan sang putri.
Namun,
kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Setengah jam kemudian, Pak Wiyo, guru
olahraga sekaligus pendamping para siswa yang mengikuti kegiatan camping itu,
mendatangi rumah Pak Biyan untuk menyampaikan kabar yang paling mencengangkan
melebihi apapun. Kabar seburuk-buruknya, kabar seduka-dukanya.
Betul.
Siang tadi Loca mengalami kecelakaan fatal hingga merenggut nyawanya. Gadis
mungil tersebut terjatuh ke jurang saat hendak mengambil. setangkai Edelweis di
dinding jurangnya. Tebing dengan ketinggian 15 meter itu menjadi saksi dimana
kepala Loca pecah, dan seluruh tubuhnya remuk menghantam bebatuan di dasar
jurang.
Selama
3 hari lamanya Pak Biyan koma di rumah sakit. Saat mendengar kabar duka itu,
beliau langsung kena serangan jantung, tersungkur, lalu baru siuman 48 jam
kemudian .
Bahkan
Pak Biyan tidak sempat mengucapkan salam perpisahan. Tidak sempat melihat jasad
putrinya, dan tidak hadir di pemakamannya. Kini, beliau hanya bisa meratap.
Ribuan tetes air mata mengalir bak hujan membasahi batu nisan sang putri.
Jutaan kepedihan menyayat-nyayat jantungnya bak neraka duniawi. Dan milyaran
sel darah di pembuluh nadinya mendidih bak kobaran api yang hendak membakar
tubuhnya.
Sebaik-baiknya
orang adalah yang panjang umurnya, dan baik amal salehnya. Setegar-tegarnya
orang adalah yang kehilangan segalanya, tapi tidak menghilangkan apa yang
tersisa, yaitu ... nyawa sendiri. Meski bak zombi, Pak Biyan berusaha
melanjutkan hidupnya dengan membawa berjuta kepedihan. Ditinggal sang istri dan
kedua anaknya, apa yang lebih menyedihkan dari itu?
Kasus
meninggalnya Loca ini sudah ditutup. Setelah dilakukan penyelidikan mendalam di
tempat kejadian, hasilnya memang positif kecelakaan. Saat
Loca--lagi-lagi--menyelinap dari keramaian, dia pergi sendirian menuju tebing
itu untuk mengambil Edelweis. Jejak sepatu yang ditemukan di akar yang
menggantung di dinding tebing, semakin meyakinkan pihak penyidik kalau Loca
terpeleset di sana dan terjun bebas ke bawah. Sama sekali tak ditemukan
tanda-tanda sabotase atau kesengajaan yang tampak untuk mencelakainya.
Benarkah?
Lokasi:
Kediaman Pak Biyan. Jam 12.46 am. 2 minggu kemudian.
"Ya
Allah, jika Engkau berkenan, hadirkanlah putri hamba dalam mimpi hamba malam
ini. Hamba sangat merindukannya. Izinkan hamba mengucap kata perpisahan untuk
terakhir kalinya. Amiin ..." Ucap Pak Biyan sesaat sebelum beliau
memejamkan matanya untuk terlelap. Setetes air mata tampak membelah pipi yang
pucat itu. Doa yang teramat kuat saat terpanjat, bukan hal yang tak mungkin
terkabul saat itu juga.
Namun,
rupanya Tuhan tidak mengabulkan harapan itu. Keesokan paginya, Pak Biyan
terbangun lebih cepat dalam keadaan seperti biasa. Tanpa kesan, tanpa mimpi
indah, tanpa apapun yang mampu diingatnya.
Dengan
gontai, beliau melangkah ke arah ruang makan, dan menemukan sesuatu yang sudah
tidak asing lagi di matanya. Pak Biyan melihat menu sarapan yang khas, sudah
tersaji di sana.
Sepiring
nasi goreng dengan telor ceplok setengah matang, lengkap dengan secangkir
kopinya, terpampang jelas di atas meja!
Pak
Biyan terperangah kecil. Bagaimana bisa? Pintu rumahnya terkunci semalam, dan
tidak mungkin ada orang bisa menyelinap masuk begitu saja, meski itu saudaranya
sekalipun. Lagipula, kenapa aroma makanan itu begitu mirip dengan masakan yang
biasa dibuatkan oleh Loca? Dan, selain istri dan Loca sendiri, tak ada yang
tahu beliau suka telur setengah matang dengan taburan lada hitam. Siapa yang
melakukan semua ini?
Pak
Biyan belum mau menyentuh makanan itu. Dia segera bergegeas kesana kemari untuk
mencari orang lain di rumahnya. Tidak ada, beliau belum menemukan siapapun. Pak
Biyan lagi-lagi dibuat terperanjat saat menemukan air hangat sudah disiapkan di
toilet untuk keperluan mandinya.
Bukan
hanya itu. Kekalutannya semakin menjadi-jadi tatkala beliau mendengar suara
mesin mobil meraung di garasi. Jantung Pak Biyan berdegup nyeri! Ada apa ini?!
Siapa yang melakukan semua kebiasaan-kebiasaan putrinya?! Jerit batinnya.
"Selamat
pagi, Abi. Udah sarapannya?" Sapa Loca dengan semangat.
"Astaghfirullahaldziiim!
Siapa kamu?!" Bentak Pak Biyan sembari meremas dadanya yang berdegup
semakin hebat. Matanya menatap tajam ke arah Loca. Tubuhnya gemetar tak karuan.
Bagaimana mungkin ...?!
"Abi?!
Abi kenapa?! Ini Loca, Abi! Kenapa Abi bersikap seperti ini?!" Tukas Loca
tak kalah sengitnya. Dia merasa, sikap ayahnya sangat aneh hari ini. Sebenarnya
apa yang terjadi pada ayahnya? Bagaimana mungkin ingatannya lenyap hanya dalam
semalam?
Nah,
lo. Sebenarnya siapa yang aneh, nih? *nyeduh kopi
Setelah
bergumul dengan keganjilan yang terjadi di pagi itu, akhirnya Pak Biyan
mengalah. Beliau tak pernah menceritakan tragedi itu karena tak mau membuat
Loca sedih. Kini, perlahan ketakutannya surut. Setahap demi setahap
kekalutannya mulai menjelma menjadi kebahagiaan. Putri kesayangannya sudah
kembali! Beliau tak menyangka doanya semalam dikabulkan Tuhan melebihi
harapannya. Bukan hanya lewat mimpi, namun juga lewat kehidupan nyata.
Entahlah, meski ini aneh, Pak Biyan tetap mensyukurinya. Meski ini tak masuk
akal, Pak Biyan akan menerimanya dengan hati terbuka.
Loca
sudah kembali! Pak Biyan akan menjaganya seribu kali lebih baik dari
sebelumnya. Tak akan pernah beliau biarkan hal buruk apapun menimpa lagi
putrinya, itulah tekadnya. Keajaiban itu mampu mengembalikan semangat hidupnya
hanya dalam sekejap mata.
Sementara
Loca sendiri tetap merasa ada yang tidak beres dengan sikap ayahnya saat itu.
Ketika sang ayah memeluknya erta-erat, dia hanya bisa membalas pelukannya
dengan perasaan waswas. Tapi, ya, sudahlah. Mungkin ayahnya habis mengalami
mimpi buruk yang nyata semalam hingga membuatnya hilang kesadaran. Semua bakal
baik-baik saja, bisik hatinya.
Begitulah
pertemuan mengharukan itu terjadi. Seperti biasa, keseharian ayah dan anak itu
kembali dijalani dengan penuh sukacita, dengan penuh rasa cinta. Tak pernah
henti-hentinya Pak Biyan bersyukur atas keajaiban yang dilimpahkan Tuhan
padanya. Bahkan orang-orang disekitarnya seolah dibuat amnesia atas tragedi
itu. Mereka memperlakukan Loca layaknya manusia pada umumnya. Tak ada
tanda-tanda keanehan yang ditunjukkan mereka.
Hingga
suatu hari di sore yang sejuk ...
Sepulang
sekolah, Loca menghampiri ayahnya sembari mendekapnya dari belakang.
"Abi,
lusa sekolah Loca mau ngadain camping di Gunung Linjo selama 3 hari. Loca boleh
ikut, ya, Bi?"
"ASTAGHFIRULLAH!!!
TIDAK!! KAMU TIDAK BOLEH IKUT!!" Bentaknya dengan suara lantang. Dadanya
kembali berdegup nyeri. Entah kenapa, beliau seperti menyadari sesuatu atas
keganjilan yang beliau hadapi mengenai putrinya itu. Sedikit-demi sedikit
semuanya mulai terasa masuk akal sekarang, namun juga terasa semakin rumit.
"Abi
kenapa, sih?! Kalau nggak boleh, ya, bilang aja nggak boleh. Nggak usah
membentak Loca!" Timpal Loca sembari terisak, sampai kemudian tangisannya
pecah meraung. Itu adalah sikap terburuk sang ayah yang pernah ia terima seumur
hidupnya.
Pak
Biyan terperangah. Sungguh, beliau tak pernah berniat menyakitinya. Bentakan
itu keluar dari mulutnya begitu saja, karena beliau tahu, di tempat camping
itulah malapetaka mengerikan itu akan merenggut nyawa putri satu-satunya.
Pak
Biyan bergegas mengambil kalender, dan menemukan sesuatu yang mengejutkan.
Ternyata tanggal yang ditunjukkan di kalender tersebut sesuai dengan hari yang
sama, dimana beliau mengizinkan Loca pergi beberapa minggu lalu. Namun, bukan
bentakan yang beliau luapkan. Saat itu beliau hanya menjawab, "Tentu,
Sayang. Kamu sangat menginginkan ini dari dulu, kan? Tentu kamu boleh
ikut," Jawabnya, yang kemudian dibalas lonjakan kegirangan dari sang
putri.
Pak
Biyan termangu. Dengan gusar, beliau mencopot kacamata plus-nya. Ini semakin
tak masuk akal. Bagaimana mungkin Tuhan sengaja mengirimkan beliau ke masa
lalu, ke masa dimana hari-hari menjelang insiden maut itu akan terjadi? Insiden
yang akan meremukkan tubuh bidadari kecilnya.
Apakah
Tuhan sengaja melakukan itu untuk memberinya kesempatan? Untuk menyelamatkan
Loca? Entahlah.
Pak
Biyan menghampiri Loca yang masih menangis di atas sofa. Sungguh. Beliau sangat
menyesalkan sikapnya barusan. Rasa iba yang hebat menyergapi hatinya kini.
"Loka,
Sayang. Maafkan Abi, ya. Abi nggak bermaksud kasar sama kamu. Abi cuma
kuatir." Pak Biyan mengelus rambut Loca sebelum akhirnya melanjutkan,
"Kamu boleh ikut, kok. Tapi dengan syarat ..."
"Syarat
apa, Bi?" Tanya Loca dengan mata berbinar.
"Abi
akan ikut untuk menjagamu. Tapi Abi janji, Abi nggak bakalan mengganggu kamu.
Abi akan mendirikan tenda jauh-jauh dari kamu, jadi teman-temanmu nggak akan
tahu kalau ada Abi di sana. Kalau kamu nggak setuju, terpaksa Abi melarangmu
pergi. Bagaimana?"
Yah,
dengan terpaksa Loca mengiyakan syarat itu kalau ingin sang ayah
mengizinkannya. Dia tahu persis watak ayahnya. Sekali bilang tidak, selamanya
akan tidak untuk hal yang sama. "Tapi beneran ya, Bi, teman-teman Loca
nggak bakal tahu sama kehadiran Abi? Kan, Loca malu, Bi, kalau sampai mereka
tahu," jawab Loca, yang kemudian disambut anggukan dan kecupan hangat dari
sang ayah.
Lokasi:
Cagar alam Gunung Linjo. Jam 10.30 am. 4 hari kemudian.
Ini
sudah hari kedua setelah Pak Biyan memutuskan untuk menjadi pengawal putrinya.
Dari kejauhan, beliau tampak mengamati gerak-gerik putrinya yang sedang
mengikuti kegiatan outbond. Tidak sedetik pun matanya lengah saat mengawasi
Loca. Pak Biyan tahu, kecelakaan yang akan merenggut nyawa Loca itu akan
terjadi besok pagi.
Beliau
bersumpah, tak akan pernah membiarkan tragedi itu terulang kembali untuk yang
kedua kalinya. Bahkan beliau rela menggantikan posisi Loca di dasar jurang,
jika itu bisa menyelamatkan nyawa anaknya. Demikianlah tekad Pak Biyan selama
puluhan jam terakhir ini. Dan, itulah yang membuatnya cemas tak terkira hingga
selalu membuatnya terjaga sepanjang malam.
Lalu,
apakah tekadnya akan berjalan semulus rencananya? Apa benar kekuatan cinta
seorang ayah mampu mencegah tragedi itu? Sanggupkah beliau menyelamatkan nyawa
sang putri? You'll find the answers soon.
Keesokan
paginya.
"Pak,
saya izin, ya, mau ke toilet sebentar," kata Loca pada guru pembinanya,
Pak Wiyo.
"Boleh.
Tapi jangan jauh-jauh. Di tempat biasa aja, ya," Jawab Pak Wiyo.
Dengan
semangat, Loca pun melangkahkan kakinya menjauhi tenda. Saat pandangannya
memutar ke arah bukit di atasnya, di sini lah bunga Edelweis itu sukses menarik
perhatiannya, dan membangkitkan gairahnya untuk memetik mereka beberapa
tangkai.
Setelah
beberapa lama menyusuri jalan setapak menuju tebing, Loca pun akhirnya sampai
di atas. Dengan nafas terengah, dia mulai menghampiri tepi jurang itu.
"LOCA!!
HENTIKAN!!!" Jerit seseorang dari belakang.
"Abi?!
Bikin kaget aja! Kok Abi tahu Loca di sini?!" Jawab Loca dengan raut
terpana.
"Tentu
saja Abi tahu. Abi menginap di sini semalaman!"
"Ya
ampun, Abi! Kenapa Abi melakukan itu?! Kalau Abi sakit, gimana?"
"Abi
nggak peduli. Kamu mau mengambil bunga Edelweis, kan? Kamu tunggu di sini. Biar
Abi yang mengambilkan buat kamu," Perintah Pak Biyan. Hfffh, hampir saja
beliau terlambat mencegahnya.
"Abi
yakin?"
"Tentu
saja. Tapi kamu janji sama Abi, kamu nggak bakal mendekati tepi jurang itu, ya!
Kamu tunggu di sini, apapun yang terjadi! Kamu janji?!" Perintah Pak Biyan
lagi sembari mengguncang pundak Loca.
"E,
iya, Abi. Abi tenang aja. Loca janji bakal menunggu Abi di sini," jawab
Loca dengan tatapan heran. Ayahnya selalu saja bersikap aneh akhir-akhir ini,
seolah-olah beliau tahu Loca akan celaka. Tentu saja beliau tahu.
Dengan
sigap, Pak Biyan pun menuruni jurang yang cukup curam itu. Untuk ukuran orang
dewasa, sepertinya tak terlalu sulit melakukannya. Banyak akar menjuntai di
dinding jurangnya yang bisa digunakan sebagai pijakan dan pegangan.
Pak
Biyan semakin turun, semakin mendekati kuncup-kuncup bunga abadi itu. Kini,
tangannya mulai meraih batangnya, dan siap memetiknya untuk diberikan pada
Loca. Tatapan Pak Biyan sejenak menukik ke bawah, dan merinding hebat saat
membayangkan tubuh anaknya pernah tergolek remuk di sana. Astaghfirullah,
ucapnya seraya mencengkeram setangkai Edelweis di tangan kirinya.
Setelah
selesai menantang maut, kini Pak Biyan mulai memanjati kembali dinding jurang
itu. Matanya mendongak ke atas, dan tak melihat apapun selain akar yang
meliuk-liuk. Beliau hanya ingin memastikan Loca menepati janjinya dengan tidak
beranjak dari tempatnya. Setelah Pak Biyan sampai di atas nanti, tragedi maut
itu tidak akan pernah terjadi. Misinya selesai. Pak Biyan dan putri
kesayangannya akan kembali ke rumah dengan selamat.
"Sayang,
kamu masih di situ, Nak?" Panggil Pak Biyan dari dinding tebing.
Senyap.
"Sayaaang.
Kamu masih di atas, kan?!" Panggilnya lagi dengan sedikit berteriak.
Senyap.
"Loca!!
Jawab Abi, Nak! Kamu masih di atas?!!"
Tetap
senyap.
Pak
Biyan mulai panik. Dengan cepat, beliau buru-buru memanjati akar itu untuk
melihat keadaan putrinya. Hanya tinggal dua atau tiga titian lagi, kepalanya
akan menyembul di atas dan bisa melihat situasi di sekitar tebing.
Beberapa
detik kemudian, pemandangan paling mencengangkan pun sukses membuat jantung Pak
Biyan hancur hingga berkeping-keping! Dalam sekejap, beliau segera tahu apa
yang tengah menimpa putrinya di atas.
Mulut
Loca tengah dibekap seseorang dalam keadaan terlentang, diringkus ... dan
diperkosa dengan leluasa!
"BAJINGAAAAAAN!!!!
HENTIKAAAAAAN!!! BANGSAT KAU, WIYO!! ANJING KAU, HENTIKAAAAAAN ...!!!!
Jeritan
sang ayah pun pecah membelah hutan. Bunga abadi di cengkeraman itu lepas dari
tangannya dan menukik ke dasar jurang. Gemeretak gigi yang menahan amarah
meledak memecah kesunyian.
Namun
apa yang terjadi kemudian? Kemurkaan yang meluap itu sama sekali tak digurbris
oleh Pak Wiyo, seakan dia tak mendengar apapun, tak menyadari kehadiran
siapapun. Masih dalam keadaan leluasa, bajingan itu terus saja melancarkan
aksinya bak binatang.
Dengan
mulut masih dibekap, Loca tampak menjulurkan tangannya ke arah sang ayah seolah
meminta diraih, namun terlalu jauh. Begitu memprihatinkan. Begitu menyayat
hati.
Tangisan
dan jeritan memilukan dari sang ayah pun seakan tak ada artinya. Tubuhnya
seolah terikat rantai di sana hingga tak mampu digerakkan. Hatinya semakin
hancur, jeritannya yang masih menggema terdengar semakin memilukan dan nelangsa.
Tuhan hanya mengizinkannya menyaksikan perilaku biadab itu, tanpa membiarkan
beliau melakukan sesuatu. Ini kejam. Sangat kejam! Kenapa Dia begitu tega?
Hingga
akhirnya semuanya tampak semakin jelas. Setelah puas memenuhi hasrat
bajingannya, iblis itu memakaikan kembali rok pramuka yang dipakai Loca. Lalu,
dalam keadaan tak sadarkan diri, Loca dibopong mendekati tepi jurang.
"Tidak!
Aku mohon, Wiyo, jangan lakukan itu! Jangan kumohon, jangan!!" teriak Pak
Biyan dengan geram, namun memelas. Jelas beliau bisa membaca apa yang hendak
diperbuat sang keparat itu.
Di
depan mata dan kepala sang ayah, Loca di lempar ke bawah, terjun bebas, lalu
mendarat dengan kepala pecah dan tubuh yang remuk.
"TIDAAAAAAAAAAAAK
...!!!"
Pak
Biyan melompat dari ranjangnya. Keringat dingin mengucur hebat di seantero
tubuh yang kurus itu. Itu adalah mimpi terburuk sepanjang hidupnya. Mimpi yang
mungkin akan membuatnya gila untuk melanjutkan sisa hidupnya.
"Astaghfirullah
... Astaghfirulah ... Astaghfirullahaladziiiim ..." Jerit Pak Biyan
sembari meremas dadanya yang berdenyut semakn nyeri. Beberapa saat lamanya
beliau hanya bisa mematung. Tenggorokannya tercekat bak digantungi kapak besar.
Sampai kemudian beliau tersadar, tangan kirinya ternyata tengah mencengkeram
setangkai bunga abadi, dengan bentuk sama persis seperti yang beliau petik saat
di dinding jurang itu. Bunga abadi yang menjadi saksi tragedi maut itu. Bunga
tak kenal layu yang menguatkan tekad sang ayah untuk mengusut kembali kasus
putri kecilnya.
Butuh
waktu cukup lama sebelum akhirnya beliau menyadari ... mimpi buruk itu adalah
penglihatan yang diberikan Tuhan untuk mengungkap kasus yang menimpa sang
putri. Ternyata Tuhan mewujudkan doanya sebelum tidur, dan tetap melebihi harapannya.
Bukan hanya bisa bercengkerama dengan Loca, namun Dia juga mengizinkan sang
ayah untuk mengungkap kebenaran itu. Kebenaran yang kini masih tertimbun tanah
di pekuburan.
Clossing
storry.
Setelah
Pak Biyan mampu membuat pihak penyidik terkesima dengan bukti fisik yang
ditunjukkannya dari tubuh sang pelaku, kasus kecelakaan yang menimpa Loca pun
dibuka lagi.
Bukti
apa yang ditunjukkan Pak Biyan? Bekas cakaran dari kuku Loca yang menggemat di
punggung bawah Wiyo. Dua garis memanjang bekas cakaran itu sempat beliau lihat
dalam mimpi saat si iblis melancarkan aksinya. Lukanya sendiri memang sudah
kering, namun bentuk garis yang digambarkan Pak Biyan ternyata sama persis
seperti bentuk aslinya. Bagaimana mungkin itu hanya sebuah kebetulan?
Secara
teknis, bukti tersebut memang tidak cukup. Apalagi hanya diperoleh dari mimpi
belaka. Maka demi kepentingan bersama, kasus itu pun diusut lagi. Makam Loca
dibongkar untuk dilakukan visum. Lalu hasilnya? Terbukti jelas, selaput dara
Loca sudah robek karena dorongan benda tumpul
Saat
ditest DNA, semuanya baru masuk akal. Sang guru bajingan itu sudah tidak bisa
berkutik lagi. Sesaat sebelum palu diketuk tiga kali di meja hijau, hukuman
mati pun dijatuhkan.
Lalu,
orang yang diajak bicara sama Loca dan tidak terlihat oleh Elyn itu siapa, ya?
Tentu saja itu ayahnya Loca, Pak Biyan. Termasuk jejak sepatu yang ditemukan di
akar itu, itu juga jejak sepatu sang ayah. Itu pula yang menjadi penyebab
kenapa Loca sering pergi diam-diam, untuk menemui ayahnya.
Nah,
lalu kenapa beliau tidak bisa terlihat? Karena beliau hanya petunjuk dan
firasat bagi Loca. Kamu pernah dengar cerita orang yang punya teman khayalan?
Nah, seperti itu. Kita tidak pernah tahu siapa teman khayalan itu. Bisa saja
mereka adalah 'pelindung' bagi kawan hidupnya.
Semuanya
memang sulit dijelaskan dengan nalar. Namun itulah misteri. Segala sesuatu yang
berbau metafisika itu ada, meski banyak orang berusaha menolaknya dengan alasan
tak masuk akal. Benarkah tak masuk akal? Atau hanya tak bisa menerima kenyataan
akan keterbatasan sel otak untuk menjelaskannya secara ilmiah? Entahlah.
Yang
pasti, kasus pembunuhan keji yang menimpa Loca, putri seorang ayah yang pantang
menyerah itu, mampu diungkap dan dituntaskan hanya dari sebuah doa. Doa yang
kuat dan penuh cinta.
Pesan
moral:
"Keajaiban
itu ada, dan kadang terjadi di saat yang tak terduga. Kebesaran Tuhan itu
nyata. Dan kadang, kita hanya harus menerimanya dengan lapang dada, tanpa perlu
logika, apalagi rumus matematika.
No comments:
Post a Comment